HARIAN LOKBOK – Di balik keindahan alamnya yang memikat wisatawan dari berbagai penjuru dunia, Gili Trawangan, yang terletak di Kabupaten Lombok Utara (KLU), Nusa Tenggara Barat (NTB), menyimpan masalah pelik yang belum terselesaikan selama bertahun-tahun.
Sengkarut pengelolaan lahan yang belum menemukan titik terang, menjadi hambatan utama dalam optimalisasi aset di pulau ini. Untuk itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hadir untuk melakukan pendampingan pada pemerintah daerah dalam penyelesaian masalah terkait status lahan di Gili Trawangan.
Usai melakukan pendampingan lapangan pada Pemda KLU di Gili Air dan Gili Trawangan, Ahad 18 Agustus 2024, Kepala Satgas Direktorat Koordinasi dan Supervisi Wilayah V KPK, Dian Patria menuturkan, sengketa pengelolaan lahan ini terjadi antara Pemprov NTB yang memiliki hak pengelolaan atas 75 hektare tanah di Gili Trawangan dari total luas 340 hektar, dengan oknum masyarakat yang merasa berhak atas tanah tersebut hingga menyewakannya tanpa adanya izin Pemprov NTB.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kalau tidak bisa akur dan main salah-salahan, kalian (oknum masyarakat) salah. Karena menyewakan tanah negara’,” ucap Dian, Senin 19 Agustus 2024 melalui keterangan tertulis.
Sesuai Perda Nomor 5 Tahun 2018, masyarakat hanya diberi izin sewa pemanfaatan lahan dengan melakukan perjanjian kerja sama (PKS), yang mana diwajibkan membayar Uang Wajib Tahunan (UWT) atau pajak sebesar Rp 25.000/m2/tahun atau Rp 2,5 juta per are per tahun.
“Nilai sewa ini merupakan harga terendah dalam Perda, yang dikenakan pada masayarakat yang belum memiliki usaha”, terangnya.
Kepala UPT Gili Tramena Mawardi di kesempatan yang sama, menjelaskan baru sekitar 100 dari 700 Wajib Pajak (WP) yang telah menandatangani PKS dengan Pemprov, dengan nilai Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang masuk sebesar Rp 1,6 miliar hingga bulan Juli 2024. Targetnya, PAD dari kawasan ini dapat mencapai Rp5 miliar di tahun ini.
Oknum Meraup Untung
Dalam giat lapangan ini, Pemda bersama KPK juga sempat melakukan pemasangan plang di salah satu restoran di Gili Trawangan. Dalam plang tersebut tertulis, bahwa berdasarkan Sertifikat HPL no. 1 Tahun 1993, lahan seluas 750.000 m2 tersebut berdiri di atas tanah milik Pemprov NTB, dan belum memiliki izin.
Di sisi lain, ada oknum masyarakat yang malah menyewakan tanah Pemprov ke pelaku usaha dengan tarif keuntungan yang tidak main-main. Dalam setahun mereka bisa mengantongi setidaknya miliaran rupiah. Sementara itu, Pemprov NTB, selaku pemilik sah lahan, tidak menerima retribusi yang seharusnya menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Kepala Dinas Pariwisata NTB Jamaluddin Malady saat ditemui di kesempatan berbeda, menambahkan, perputaran ekonomi di Gili sendiri bisa mencapai ratusan juta setiap harinya. Bahkan, pelaku usaha berani menyewa Rp 300 juta per tahun, untuk lahan di jalanan utama.
Akibatnya, masalah ini tidak hanya merugikan pemerintah daerah, tetapi juga menciptakan ketidakpastian hukum yang menghalangi investasi dan pengembangan wilayah. Padahal, tanah seluas 75 hektar tersebut diketahui sudah bersertifikat HPL serta sudah tercatat sebagai Barang Milik Daerah (BMD), yang harus dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat.
“Kita tadi bilang dari pemanfaatan lahan ini untungnya miliaran, ‘mereka’ oknum masyarakat juga keceplosan katanya nilai sewa menyewanya ini triliunan, diduga sejak 1990-an. Tapi sedikit sekali pemasukan ke Pemprov NTB,” lanjut Dian, usai melakukan mediasi dengan pihak terkait dan pihak Pemprov, oknum masyarakat yang ditemuinya, bahkan tidak segan meminta bantuan terkait dokumen Sertifikat Hak Milik (SHM), yang seharusnya tidak dimiliki masyarakat.
Adapun, selama ini pemerintah memberikan izin terkait Hak Guna Bangunan (HGB) dengan masa berlaku mencapai 30 tahun untuk menempati lahan milik pemerintah di Gili Trawangan. Meski begitu, saat ini penerbitan HGB masih terhambat karena status lahan yang masih berada dalam kawasan konservasi hutan.
Urgensi Penyelesaian Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Dalam misinya, KPK juga mendorong Pemerintah Provinsi NTB untuk segera menyelesaikan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di kawasan Gili Trawangan serta dua gili lainnya, yakni Gili Meno dan Gili Air. Dian menegaskan bahwa penyelesaian RTRW ini adalah kunci untuk membuka jalan bagi langkah-langkah selanjutnya, yang akan melibatkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Jika tidak segera diselesaikan, maka akan berdampak pada penarikan retribusi dan banyak kebocoran PAD di sana.
Lebih lanjut, Kepala Bidang Pengelolaan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) KLU Andita Novita Sari, yang turut serta dalam giat lapangan di Pulau Gili, menegaskan bahwa dari sisi pajak, pihaknya merasa sangat terbantu dengan adanya pendampingan KPK di lapangan. Bahkan, plang yang memuat keterangan bahwa pemda mendapat dukungan dari KPK, membuat WP tidak lagi abai dengan kewajibannya.
“Dengan adanya pendampingan KPK, kami sangat bersyukur. Karena dengan ikut turun dan membantu kami dalam penertiban pajak. Di bulan puasa lalu, ada 15 WP yang jadi penunggak terbesar dengan total nilai Rp8,5 miliar, yang sudah terealisasi itu Rp4,6 miliar dengan sisa tunggakan Rp3,9 miliar, tapi itu akan berakhir di tahun ini karena beberapa WP sudah membuat pernyataan bahwa akan melunasi pajak hingga Bulan Desember,” tutup Andita.***
Penulis : Ach. Sahib
Sumber Berita : Humas KPK