Oleh: Salman Faris
Mendekati hari pencoblosan tanggal 27 November 2024, saya menilai persaingan dua pasangan calon dalam pemilihan gubernur NTB kali ini semakin sengit. Salip menyalip tiada penghabisan. Kedua pasangan calon tersebut adalah Iqbal-Dinda dan Rohmi-Firin. Sedangkan pasangan Zul-Uhel dinilai makin tertinggal, meskipun tim mereka sangat jitu dalam mengkomodifikasi media sosial. Seandainya pun betul hayalan Zul terkait dukungan TGB, hal ini samasekali tidak berpengaruh. Sebab TGB dan jamaahnya dalam Pilkada NTB tahun 2024 merupakan entitas dan fenomena yang berbeda. Jadi hayalan dukungan TGB tersebut tetap mimpi di siang bolong.
Merosotnya Zul-Uhel merupakan buah dari arus deras gerakan yang penting bukan Zul, terutama oleh tim Iqbal-Dinda dan Rohmi-Firin. Karena itu, meskipun persaingan kedua calon yang sama-sama hampir dipastikan menang ini tak terkendali (salan satu dari kedua pasangan ini yang menjadi pemenang), dalam kesempatan ini, saya akan mendiskusikan sedikit tentang Rohmi-Firin. Dalam kesempatan lain, saya akan coba meneropong kembali tentang Iqbal-Dinda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebagai orang yang berlatar belakang ilmu sosial-budaya, tentu saja saya bertumpu pada pandangan secara sosiologis dan antropologis. Dalam konteks pemilihan gubernur di NTB, peran agama dan budaya tidak dapat diremehkan. Pemilih NTB memiliki kedekatan emosional yang kuat dengan tokoh agama dan budaya. Hal ini tercermin dalam keputusan-keputusan politik mereka yang sering kali dipengaruhi oleh rekomendasi para tokoh agama atau tokoh adat-budaya setempat. Pendekatan calon yang tidak hanya menunjukkan kesalehan pribadi tetapi juga menghormati tradisi lokal dapat meningkatkan kepercayaan publik. Terlebih lagi jika calon tersebut mampu menawarkan program nyata yang selaras dengan nilai-nilai religius dan adat-budaya masyarakat NTB.
Setiap kategori pemilih di NTB memiliki preferensi yang unik berdasarkan latar belakang sosial, budaya, dan ekonomi mereka. Calong yang ingin memenangkan pemilu harus mampu mengidentifikasi dan memprioritaskan kelompok-kelompok ini dengan pendekatan yang tersegmentasi, baik melalui program yang sesuai maupun komunikasi yang efektif. Kombinasi strategi tradisional-konvensional dan digital sangat penting untuk menjangkau seluruh segmen ini secara menyeluruh.
Dalam konteks sosial-budaya, pemilih di NTB tidak hanya memilih seorang pemimpin, tetapi juga memilih narasi identitas yang dirasa mewakili mereka.
Pilihan politik mereka sering kali adalah proyeksi aspirasi kolektif komunitas, seperti harapan terhadap pengakuan budaya Sasak, Samawa, dan Mbojo. Sudah pasti termasuk penghormatan pada tradisi Islam lokal, atau bahkan impian untuk keluar dari keterbatasan ekonomi tanpa mengabaikan cara kearifan lokal. Calon yang tidak hanya menawarkan solusi tetapi juga membangun narasi emosional tentang kebanggaan sebagai entitas kebangsaan atau etnik akan mendapatkan dukungan yang kuat.
Dari perspektif psikologi sosial, ini menandakan adanya apa yang disebut in-group favoritism (Zuo, 2018), di mana pemilih lebih cenderung mendukung calon yang dianggap bagian dari kelompok mereka, baik secara etnis, agama, atau pengalaman bersama. Meskipun membawa visi yang baik, pemimpin yang tidak mampu menunjukkan kedekatan emosional dengan komunitas ini sering kali akan dianggap asing.
Agama di NTB bukan hanya soal keyakinan spiritual, tetapi juga berfungsi sebagai mekanisme sosial yang memberikan rasa aman, stabilitas, dan orientasi moral bagi masyarakat. Pemilih sering kali melihat pemimpin sebagai simbol moralitas. Dalam psikologi agama, ini disebut sebagai figur otoritas simbolik, di mana kandidat yang dianggap mampu menjaga tatanan nilai-nilai religius mendapatkan kepercayaan lebih besar. Meskipun hal ini banyak risiko meruginya, namun realitas ini juga masih sangat mengakar kuat di pemilih NTB.
Pemilih NTB adalah refleksi dari masyarakat yang sedang bergerak antara menjaga tradisi dan mengejar modernitas. Pemimpin yang dapat memanfaatkan psikologi sosial masyarakat, merangkul identitas kolektif mereka, dan memahami konflik batin yang mereka alami akan menjadi sosok yang mampu meraih dukungan luas. Politik di NTB bukan hanya tentang angka, tetapi juga tentang cerita, emosi, dan rasa kepemilikan bersama terhadap masa depan kebangsaan atau etnis mereka.
Dalam perspektif antropologi politik, loyalitas terhadap tokoh tertentu sering kali dipengaruhi oleh warisan sejarah. Boleh dikatakan serupa habitus. Relasi kuasa tidak hanya dimaknai sebagai hubungan politik, tetapi juga sebagai hubungan moral yang harus dihormati. Calon yang mampu memposisikan diri sebagai pelindung, sebagai ibu, sebagai pengobat rasa rindu, sebagai pipa penyambung pemberi berkah bagi komunitas akan lebih mudah diterima. Bahkan jika mereka tidak sepenuhnya memenuhi kriteria teknokratis modern. Dalam konteks Rohmi, pemilih tidak peduli jika ada persentasi penilaian menunjukkan kualitas kepemimpian Rohmi lebih kurang dibandingkan Iqbal, misalnya. Karena dalam diri Rohmi sudah mengalir relasi moral antara dirinya dan pemilihnya. Dengan begitu, mereka tetap akan mengutamakan Rohmi.
Lebih jauh lagi, Rohmi, dalam konteks ini, telah berhasil menjadikan agama untuk memainkan peran ganda dalam politik: sebagai basis moral yang memandu pilihan, dan sebagai simbol kekuasaan yang melegitimasi otoritas calon. Pemilih sering kali mencari figur yang dianggap mampu menyeimbangkan nilai-nilai religius dengan kepemimpinan yang tangguh. Tokoh yang menunjukkan kedekatan dengan Tuan Guru, tradisi keagamaan, sejarah moral, relasi emosi yang melokal memiliki keunggulan besar, karena mereka dilihat sebagai perpanjangan dari nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.
Struktur sosial NTB yang masih sangat berbasis komunitas membuat pilihan politik sering kali menjadi keputusan kolektif, bukan individu. Dalam banyak kasus, kepala keluarga, tokoh adat-budaya, atau pemimpin komunitas memegang pengaruh besar dalam menentukan arah suara. Pemilih di NTB adalah refleksi dari dinamika sejarah, sosial, dan budaya yang kompleks. Mereka tidak hanya memilih calon berdasarkan janji kampanye, tetapi juga mempertimbangkan bagaimana calon tersebut mewakili identitas kolektif mereka, mengatasi trauma masa lalu, dan menawarkan harapan masa depan. Dalam analisis yang lebih mendalam, pilihan politik masyarakat NTB adalah cerminan dari perjuangan mereka untuk mempertahankan tradisi sembari menjawab tantangan modernitas.
Harus diakui dengan jujur bahwa pemilihan gubernur NTB 2024 menjadi ajang kontestasi yang semakin menarik, terutama dengan mencuatnya pasangan Rohmi-Firin sebagai pasangan yang memiliki kombinasi unik dari kekuatan politik, kultural, dan geografis. Modal utama pasangan ini bertumpu pada basis dukungan kultural, prestasi administratif, dan strategi politik yang menyasar keterwakilan wilayah serta kelompok-kelompok strategis dalam masyarakat NTB.
Rohmi memiliki modal kultural yang sangat kuat, terutama karena ia adalah cucu Tuan Guru Pancor, tokoh besar pendiri Nahdlatul Wathan (NW) dan NWDI. Dalam konteks politik lokal NTB, terutama di pulau Lombok, garis keturunan dari tokoh agama ternama sangat berpengaruh terhadap persepsi pemilih. NWDI bukan hanya organisasi keagamaan, tetapi juga institusi sosial dengan jaringan yang luas di akar rumput. Dukungan dari NWDI dan Muslimat NWDI memberikan keunggulan struktural bagi Rohmi dalam menggalang suara, terutama di kalangan pemilih perempuan dan komunitas yang terkait dengan pendidikan berbasis pesantren di bawah NWDI.
Meskipun NW Anjani secara resmi memberikan dukungan kepada pasangan Iqbal-Dinda, namun saya melihat pola pemilih NW Anjani masih lebih cair dibandingkan pemilih NWDI yang utuh. Sama seperti ketika pertama kali pemilihan langsung diadakan tahun 2008 ketika TGB berhadapan dengan Lalu Serinata yang didukung resmi oleh NW Anjani. Pada masa itu, meskipun perbedaan haluan masih sangat kuat antara kedua kubu, namun hampir setengah dari pemilih NW Anjani berpikir mengarusutamakan keturunan Tuan Guru Pancor. Karena itu, limpahan suara TGB juga berasal dari pemilih NW Anjani.
Pola yang sama terjadi ketikan Rohmi berpasangan dengan Zul. Walaupun berhadapan dengan Tuan Guru Gede Sakti yang merupakan darah langsung NW Anjani, namun pemilih NW Anjani masih sangat cair. Mereka berpikir bahwa seharusnya keturunan Tuan Guru Pancor menjadi gubernur. Karena itu juga, pada tahun 2018, limpahan pasangan Zul-Rohmi juga cukup besar dari NW Anjani. Sementara pemilih NWD semakin utuh seiring pengalaman berpolitik masyarakat.
Saya melihat, pola tersebut masih sama pada tahun 2024. Karena bagi NW dan NWDi, satu-satunya keturunan Tuan Guru Pancor yang bertanding ialah Rohmi. Terutama sebab hal ini diperkuat oleh penegasan Tuan Guru Gede Sakti yang secara terbuka memberikan dukungan kepada Rohmi. Pengaruhnya memang tidak setanding dengan dukungan resmi NW Anjani, namun limpahan suara kepada Rohmi akan memberikan tambahan yang signifikan.
Sebagai calon yang berasal dari Lombok Timur, Rohmi juga memiliki keunggulan geografis yang tidak bisa diabaikan. Lombok Timur adalah kabupaten dengan jumlah penduduk terbesar di NTB, mencapai lebih dari 1,3 juta jiwa pada 2023. Jumlah pemilih yang hampir satu juta (994.467). Representasi wilayah ini menjadi modal signifikan, mengingat pemilih di NTB cenderung memiliki loyalitas emosional terhadap calon dari daerah mereka. Dengan tidak adanya kandidat lain dari Lombok Timur, Rohmi secara efektif memonopoli dukungan basis ini. Dengan kata lain, Rohmi mempunyai empat danau suara di Lombok Timur yakni, NWDI, NW Anjani, represenrasi Lombok Timur. Bahkan juga keterwakilan perempuan.
Posisi Rohmi sebagai satu-satunya calon perempuan, dapat dipastikan juga membuatnya memiliki daya tarik tambahan bagi pemilih yang menginginkan representasi gender yang lebih inklusif dalam politik lokal. Data pemilih perempuan di NTB menunjukkan bahwa mereka mencakup sekitar 50.1% (2.017.969) dari total daftar pemilih tetap (DPT), menjadikan mereka segmen strategis yang dapat dioptimalkan melalui jaringan Muslimat NWDI dan gerakan perempuan lainnya.
Modal lainnya adalah pengalaman Rohmi sebagai petahana. Selama menjabat sebagai Wakil Gubernur NTB periode 2018-2023, ia telah membangun rekam jejak dalam tata kelola pemerintahan, khususnya dalam bidang kesehatan dan pendidikan. Salah satu pencapaiannya adalah program penguatan layanan kesehatan berbasis masyarakat yang diakui secara nasional. Meski demikian, tantangan tetap ada, mengingat persepsi sebagian masyarakat bahwa peran wakil gubernur sering kali dianggap kurang menonjol dibandingkan gubernur. Oleh karena itu, keberhasilan Rohmi dalam memanfaatkan rekam jejak ini sebagai narasi kampanye akan sangat bergantung pada strategi komunikasi politiknya.
Di sisi lain Firin, membawa modal teknokratis dan administratif yang signifikan. Sebagai Bupati Sumbawa Barat (KSB), Firin dianggap berhasil memimpin daerah tersebut, terutama dalam pengelolaan sumber daya alam dan pembangunan infrastruktur. Salah satu keberhasilan terbesar Firin adalah pengelolaan tambang Batu Hijau yang memberikan kontribusi signifikan bagi pendapatan daerah. Di bawah kepemimpinannya, KSB juga menjadi salah satu kabupaten dengan tingkat kemiskinan terendah di NTB, turun menjadi 13,57% pada 2023 dibandingkan rata-rata provinsi sebesar 14,6%. Prestasi ini menjadi bukti konkret kapasitasnya sebagai pemimpin yang mampu mengelola sumber daya dengan efektif, sebuah kualitas yang penting untuk skala provinsi.

Kombinasi Rohmi dan Firin memberikan keseimbangan geografis yang strategis. Rohmi kuat di Pulau Lombok, terutama di Lombok Timur, sedangkan Firin memiliki basis dukungan yang solid di Pulau Sumbawa, khususnya di KSB.
Secara demografis, ini adalah strategi penting, mengingat NTB sering kali terbagi dalam dinamika politik antara dua pulau tersebut. Dukungan Firin di Pulau Sumbawa memungkinkan pasangan ini memperluas basis suara ke wilayah yang selama ini menjadi tantangan bagi calon dari Lombok. Dengan demikian, pasangan ini tidak hanya mengandalkan kekuatan kultural, tetapi juga memperhitungkan aspek geografis dalam membangun peta dukungan.
Menelaah gambaran ringkas di atas, maka dapat ditemukan secara jelas bahwa Rohmi dapat dipastikan sudah mengunci kemenangan di Lombok Timur. Seburuk-buruknya situasi ialah Rohmi menang tipis dari Iqbal-Dinda. Namun sekali lagi, kemungkinan Rohmi menang besar masih jauh lebih mungkin. Dengan demikian, lawan yang semakin mengaktifkan kampanye di Lombok Timur, justru akan semakin mengutuhkan pemilih Rohmi.
Selain itu, jika melihat soliditas pemilih NWDI dan limpahan pemilih dari NW Anjani yang masih berpegang teguh pada mengarusutamakan keturunan Tuan Guru Pancor, Rohmi juga dapat dipastikan mengunci kemenangan di Lombok Utara. Di Lombok Barat Rohmi sekurang-kurangnya akan berada di urutan kedua dengan selisih yang amat tipis dengan Iqbal-Dinda.
Seterusnya, Rohmi-Firin akan memberikan perlawanan sengit di Lombok Tengah. Tentu saja rasionalitas adalah pola yang sudah disebutkan di atas. Karena itu, meskpun Iqbal-Dinda yang paling berpeluang besar menang di Lombok Tengah, namun perolehan suara ketiga pasangan calon akan seimbang. Maknanya, meskipun Rohmi-Firin berada di urutan ketiga di Lombok Tengah, namun perolehan suara cukup signifikan untuk mendongkrak kemenangan di Lombok Utara dan Lombok Timur.
Pola perolehan suara Rohmi-Firin di Lombok Barat dan Lombok Tengah yang sama, tentu memberikan keuntungan besar bagi Rohmi-Firin, khususnya di Pulau Lombok. Karena potensi mereka menang di pulau Lombok sangat besar. Atas dasar ini, saya melihat Rohmi-Firin berpeluang sangat besar mendulang suara di atas 750 ribu, khususnya di pualu Lombok. Sementara tiket kemenangan pemilihan gubernur NTB 2024, saya kira dalam 900 ribu lebih suara (atau satu jutaan). Dan teorinya ialah, siapa pun yang memenangkan pertarungan di pulau Lombok, maka dapat dipastikan sebagai pemenang dalam pemilihan gubernur NTB tahun 2024 ini. Langkah penting kemenangan di pulau Lombok ialah kemenangan di Lombok Timur.
Sekarang tinggal bagaimana Rohmi-Firin memproyeksikan peluang kemenangan tersebut. Kita tunggu.
Malaysia, 20 November 2024.