Mengenal Hatta yang Mau Diganti Fadli Zon sebagai Bapak Koperasi

- Jurnalis

Senin, 18 Agustus 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Harian Lombok – Sejarah itu ditulis oleh pemenang. Ada benarnya juga. Fadli Zon, Menteri Budaya, sebagai pemerintah ingin mengganti Mohammad Hatta bukan lagi Bapak Koperasi. Lalu, diganti dengan kakeknya Prabowo, Margono Djojohadikusumo. Banyak dikecam, akhirnya ia menyatakan, itu hanya pendapat pribadinya, bukan pemerintah.

Ada baiknya kita berkenalan lebih dalam dengan sosok Mohammad Hatta. Kenapa Fadli Zon ngebet benar menggusurnya dari Bapak Koperas Indonesia? Siapkan kopi tanpa gulanya, wak.

Di suatu sudut sejarah Indonesia, ada seorang lelaki berkacamata bulat dengan wajah seolah baru keluar dari ruang ujian ekonomi makro. Namanya Mohammad Athar. Atau, lebih dikenal sebagai Drs. Mohammad Hatta. Lahir di Fort de Kock (sekarang Bukittinggi) tanggal 12 Agustus 1902, wafat 14 Maret 1980 di Jakarta. Ia dikuburkan bukan di bank koperasi melainkan di Tanah Kusir.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Ia menikahi Rahmi Rachim tahun 1945. Punya tiga anak, yakni Meutia Farida Hatta, Gemala Rabi’ah Hatta, dan Halida Nuriah Hatta. Lelaki ini cucu seorang ulama pendiri Surau Batu Hampar bernama Abdurrahman Batuhampar. Jangan main-main, dari lahir saja sudah ditakdirkan jadi kombinasi antara kutu buku, teknokrat, dan cucu kiai.

Pendidikan Hatta memang rada absurd. Dari Europeesche Lagere School (ELS) Bukittinggi, lalu MULO Padang, lanjut ke Handels School Batavia, dan akhirnya menclok di Handels Hogeschool, Rotterdam, Belanda. Di sana ia meraih gelar Drs. dalam bidang ekonomi. Bayangkan, uda uni! Orang kampuang Sumatera pergi ke Rotterdam bukan untuk main bola atau nge-bongkar koperasi simpan pinjam, tapi untuk menyusun filsafat ekonomi kerakyatan.

Karier politiknya pun tidak tanggung-tanggung. Wakil Presiden RI pertama (1945–1956), Perdana Menteri RI (1948–1949), Perdana Menteri RIS (1949–1950), Menteri Pertahanan & Luar Negeri ad-interim (1948–1950), Ketua Umum Palang Merah Indonesia (1945–1946). Kalau mau jujur, ini CV yang lebih lengkap dari LinkedIn pejabat mana pun sekarang.

Kontribusi besarnya? Pertama, ia adalah proklamator kemerdekaan bersama Soekarno. Kedua, ia dipanggil “Bapak Koperasi Indonesia” karena pada 12 Juli 1951 ia berpidato soal koperasi sebagai jalan tengah antara kapitalisme dan sosialisme ekstrem. Gelar itu resmi, diakui pada Kongres Koperasi ke-2 di Bandung, 15–17 Juli 1953. Bukan sekadar stiker tempel di belakang truk.

Ketiga, ia mengeluarkan Maklumat X, tonggak awal demokrasi parlementer kita. Keempat, ia seorang penulis, dari “Alam Pikiran Yunani” yang ditulis di pengasingan Boven Digoel tahun 1935 yang malah dijadikan mahar pernikahan, hingga karya “Demokrasi Kita”, “Ajaran Marx atau Kepintaran Sang Murid Membeo”, “Mendayung antara Dua Karang”, sampai otobiografi “Untuk Negeriku”. Bayangkan, orang lain kasih mahar emas, Hatta kasih mahar filsafat Herakleitos. Kalau bukan absurd, apa lagi?

Penghargaan untuknya pun luar biasa. Pahlawan Proklamator lewat Keppres No. 081/TK/1986, namanya diabadikan di Bandara Soekarno–Hatta. Bahkan, ada Mohammad Hattastraat di Belanda. Betapa ironis, di negeri orang pun ia punya jalan, sementara di negeri sendiri banyak yang masih nyasar cari alamat koperasi.

Nah, di sinilah panggung jadi makin kocak. Tiba-tiba Fadli Zon muncul dengan usulan, “Kenapa bukan Margono Djojohadikusumo saja yang jadi Bapak Koperasi?” Katanya, Bung Hatta lebih cocok disebut Bapak Ekonomi Kerakyatan. Alasannya? Margono punya sejarah panjang. Ketua Jawatan Koperasi selama 1930–1940, mencatat koperasi pribumi (1939 ada 574 koperasi dengan 52 ribu anggota), menulis buku 10 Tahun Koperasi (1941), lalu mendirikan Bank Negara Indonesia (BNI) pada 1946, yang mencetak Oeang Republik Indonesia (ORI).

Mari kita refleksi. Benar, Margono itu hebat. Tapi apakah data statistik koperasi bisa menandingi pidato ideologis Hatta yang mengguncang Kongres 1953? Ini seperti membandingkan wasit yang rajin mencatat skor dengan pelatih legendaris yang menemukan formasi tiki-taka. Sama-sama penting, tapi jelas beda liga.

Apalagi Bung Hatta melihat koperasi bukan sekadar toko kelontong rakyat. Ia menjadikannya pendidikan sosial, alat pemberdayaan, cermin Pasal 33 UUD 1945. Koperasi baginya bukan simpan pinjam recehan, tapi miniatur masyarakat ideal. Semua orang gotong royong, tidak ada yang terlalu kaya, tidak ada yang terlalu miskin, semua ikut menanggung risiko. Kapitalisme adalah arena tinju, sosialisme ekstrem adalah barikade jalan. Sedangkan koperasi ala Hatta adalah pesta kampung, semua bawa piring, makan sama-sama, lalu gosip sama-sama.

Jadi ketika ada wacana “mengganti” Bapak Koperasi, itu terdengar seperti mengusulkan mengganti nama Bandara Soekarno–Hatta jadi Bandara Soekarno–Zon. Bikin pilot salah landing, bikin sejarah salah tafsir.

Hatta sudah menulis, sudah berpikir, sudah menetapkan koperasi sebagai filsafat ekonomi bangsa. Margono berjasa, iya. Tapi hanya satu yang sah jadi Bapak Koperasi Indonesia, Mohammad Hatta. Itu sudah final, tertulis, diakui, tidak bisa diparipurnakan ulang.

Pertanyaan terakhir yang absurd, maukah kita jadi anggota koperasi ala Hatta, atau mau bikin koperasi khusus untuk menabung pantun-pantun Fadli Zon? (**)

Penulis : Rosadi yamani

Editor : Ach. Sahib

Sumber Berita : Akun media ketua satu pena Kalbar

Berita Terkait

Samsat Lotim Sosialisasi Program “Desa Sadar Pajak dan Mandiri” untuk Tingkatkan PAD
Dukcapil Lombok Timur Permudah Siswa Dapatkan KTP Melalui Layanan Jemput Bola
Program Keringanan Pajak Kendaraan di Samsat Selong Meningkatkan Penerimaan hingga 15%
Monopoli Pengadaan Buku Anti Korupsi di Lombok Timur Berkedok Surat Pesanan, Aparat Harus Usut Tuntas
Mengenal Ivan Yustiavandana, Si Tukang Blokir Rekening Nasabah 
Jelang Kunjungan Menteri Pertahanan, Danrem 162/WB Tinjau Kesiapan Yonif TF-835/SYB
Dr. Kurtubi : Semua Yang Terlibat Kasus Tambang Sekotong Harus Di Hukum Berat
ITK-NTB Soroti Revisi RTRW Tanpa Pansus, Warga Lunyuk Panik, Sawah Dipatok Perusahaan
Berita ini 82 kali dibaca
Tag :
SEJARAH ITU DITULIS OLEH PEMENANG DAN TENGAH DIINTAI OLEH PECUNDANG, INGATKAN GENERASI PENERUSMU AGAR TETAP MENJAGA UKIRAN SEJARAH ITU, JANGAN BIARKAN TINTA DARAH TERGANTIKAN MESKI DENGAN TINTA EMAS ATAU AIR MATA

Berita Terkait

Kamis, 4 September 2025 - 16:33 WIB

Samsat Lotim Sosialisasi Program “Desa Sadar Pajak dan Mandiri” untuk Tingkatkan PAD

Kamis, 4 September 2025 - 13:24 WIB

Dukcapil Lombok Timur Permudah Siswa Dapatkan KTP Melalui Layanan Jemput Bola

Kamis, 28 Agustus 2025 - 13:12 WIB

Program Keringanan Pajak Kendaraan di Samsat Selong Meningkatkan Penerimaan hingga 15%

Senin, 25 Agustus 2025 - 14:30 WIB

Monopoli Pengadaan Buku Anti Korupsi di Lombok Timur Berkedok Surat Pesanan, Aparat Harus Usut Tuntas

Rabu, 20 Agustus 2025 - 18:14 WIB

Jelang Kunjungan Menteri Pertahanan, Danrem 162/WB Tinjau Kesiapan Yonif TF-835/SYB

Rabu, 20 Agustus 2025 - 17:40 WIB

Dr. Kurtubi : Semua Yang Terlibat Kasus Tambang Sekotong Harus Di Hukum Berat

Senin, 18 Agustus 2025 - 06:06 WIB

Mengenal Hatta yang Mau Diganti Fadli Zon sebagai Bapak Koperasi

Sabtu, 16 Agustus 2025 - 10:12 WIB

ITK-NTB Soroti Revisi RTRW Tanpa Pansus, Warga Lunyuk Panik, Sawah Dipatok Perusahaan

Berita Terbaru